“ Pemimpin yang
profesional adalah pemimpin yang cerdas dalam ilmu, terampil dalam bertindak
santun dalam bersikap”
A. Pendahuluan
Agar desentralisasi dan
otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu
diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional,
sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan, tugas, wewenang, dan
tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus berindak sebagai manajer dan pemimpin
yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi
sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala
sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi: perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.([1])
Dari segi kepemimpinan,
seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan
transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara
optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya
kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua
unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values
system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru,
siswa, pegawai, orang tua siswa, masyarakat dan sebagainya) bersedia, tanpa
paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri seorang yang sudah
berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut :
1). Mengidentifikasi
dirinya sebagai agen perubahan (pembaharuan);
2). Memiliki sifat pemberani;
3). Mempercayai orang lain;
4). Bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingaan
individu, atau atas dasar kepentingan
dan desakan kroninya);
5). Meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus;
6). Memiliki
kemapuan untuk mengahadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu;
serta
7). Memiliki visi ke depan.
Dalam era desentralisasi,
kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin
sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya
segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat
instruktif dan top down memang telah lama dipraktkkan di sebagian besar
sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung.
Beberapa fenomena
pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif
dan top down dapat kita sebutkan, antara lain : sistem target
pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan
adanya desain suatu proyek peningkatan kwalitas sekolah yang harus dikaitkan
dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni) secara instruktif. Keadaan ini
berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis.
Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi.
Kepala sekolah yang
memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan
untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses
belajar mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru
melaksanakan classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas
itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan
realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya
solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar
mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan
sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu
mereka dapat selalu meningkatkannya
secara berkelanjutan.
Agar proses inovasi di
sekolah dapat berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak
sebagai pemimpin (leader) dan bukan bertindak sebagai bos. Ada perbedaan
di antara keduanya. Oleh karena itu seyogianya kepemimpinan kepala sekolah
harus menghindari teciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan
kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga
harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan
pada kerja sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba
menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru
percaya diri.
Kepala sekolah juga harus
menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki
kemampuan kerja profesional; serta menghindarkan diri agar menyebabkan pekerjaan
guru menjadi membosankan.
B.
Pengertian Kepemimpinan
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai peran kepemimpinan
dalam pendidikan, akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa definisi kepemimpinan
yang cukup representatif, di antaranya:
1.
C. Turney mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu group
proses yang dilakukan oleh seseorang dalam mengolah dan menginspirasikan
sejumlah pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi melalui aplikasi
teknik-teknik manajemen.([2])
2.
James M. Lipham mendefinisikan kepemimpinan sebagai pelaku seseorang yang
menginisiatifkan suatu struktur baru dalam berinteraksi pada suatu sistem sosial, baik
mengenai tujuan, sasaran, konfigurasi, prosedur-prosedur, input, proses, dan
output pada sistem sosial tersebut.([3])
3.
Steven Altman mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses
mempengaruhi orang untuk mengarahkan usaha-usahanya ke arah pencapaian beberapa
tujuan khusus.([4])
4.
Arthur G. Jago dalam Griffin mendefinisikan bahwa
kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu process dan property. Sebagai
suatu proses, kepemimpinan adalah mempengaruhi anggota group tanpa
paksaan untuk mengarahkan dan mengkoordinir aktivitas-aktivitasnya dalam
pencapaian tujuan. Sebagai suatu property, kepemimpinan adalah suatu
perangkat seperangkat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
untuk mencapai suatu kesuksesan dalam mempengaruhi anggota groupnya.([5])
Dari beberapa definisi
mengenai kepemimpinan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan
merupakan suatu proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang dalam
mengelola anggota kelompoknya untuk mencapai tujuan organisasi. Proses
mempengaruhi ini tentunya bukan dengan jalan paksaan, tetapi bagaimana seorang
pemimpin itu mampu berinteraksi dan menginspirasikan tugas kepada bawahannya
dengan menerapkan teknik-teknik tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi
tertentu sehingga apa yang dituju dapat tercapai dengan sukses.
C.
Faktor Pendukung
Kepemimpinan
Faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin di antaranya
adalah “teknik kepemimpinan”, yaitu bagaimana seorang pemimpin mampu
menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang dipimpinnya timbul
kesadarannya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh seorang pemimpin.
Dengan kata lain efektif atau tidaknya seorang pemimpin tergantung dari
bagaimana kemampuannya dalam mengelola dan menerapkan pola kepemimpinannya
sesuai dengan situasi dan kondisi dalam organisasi tersebut.
Kepemimpinan yang berhasil memerlukan perilaku yang
menyatukan dan merangsang para pengikutnya untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan dalam situasi tertentu. Ketiga unsur inilah: pemimpin, pengikut,
dan situasi; yang merupakan variabel-variabel yang saling berpengaruh satu
sama lainnya dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang efektif. Oleh karena
itu, telah banyak dilakukan kegiatan penelitian dan studi yang mempelajari
tentang kepemimpinan ini, dan pada akhirnya melahirkan berbagai teori
kepemimpinan.
Banyak orang telah melakukan penelitian tentang
kepemimpinan. Pada mulanya, para peneliti mencoba menggunakan pendekatan sifat
atau karakteristik pemimpin, yang kemudian melahirkan “teori sifat”.
Karena penelitian ini belum menghasilkan penemuannya yang konsisten dan belum
memuaskan, kemudian mereka menggunakan pendekatan perilaku dalam penelitiannya,
yang kemudian melahirkan “teori pelaku”.
1.
Pendekatan Sifat
Penelitian
kepemimpinan pada tahap awal didominasi dengan pendekatan sifat para pemimpin.
Para peneliti berusaha mengidentifikasikan sifat-sifat penting para pemimpin
yaitudengan cara menguji sifat-sifat dan karakteristik personal para pemimpin,
seperti Ghandhi, Lincoln, dan sebagainya. Adapun sifat-sifat kepemimpinan itu meliputi:
intelegensi, dominasi, percaya pada diri sendiri, energi, aktivitas, dan
pengetahuan yang berhubungan dengan tugas.
2.
Pendekatan perilaku
Pada akhir
tahun 1940-an, beberapa peneliti mulai memandang kepemimpinan sebagai suatu
proses atau aktivitas yang dapat diamati. Pendekatan perilaku ini bertujuan
untuk membedakan perilaku-perialaku yang dihubungkan dengan kepemimpinan yang
efektif. Para peneliti mengasumsikan bahwa efektif atau tidaknya perilaku
pemimpin tergantung pada bagaimana seorang pemimpin menerapkan pola-pola
kepemimpinannya sesuai dengan situasi.
Menurut hasil penelitian, ada
dua dimensi kepemimpinan, yaitu kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas dan
kepemimpinan yang berorientasi kepada hubungan antara manusia. Seorang pemimpin
yang efektif adalah pemimpin yang tinggi dalam kedua dimensi kepemimpinan ini.
Kepemimpinan yang berorientasi
kepada tugas adalah pemimpin yang hanya menekankan penyelesaian tugas-tugas
kepada para bawahannya dengan tidak mempedulikan perkembangan bakat,
kompetensi, motivasi, minat, komunikasi, dan kesejahteraan bahwasannya ia hanya
mementingkan kelancaran roda perjalanan organisasi yang dipimpinnya.
Sebaliknya, kepemimpinan yang
berorientasi kepada hubungan antar manusia hanya menekankan perkembangan para
bawahannya, kepuasan, motivasi, kerja sama, pergaulan, dan kesejahteraan
mereka. Ia mementingkan nasib para bawahannya, sementara kepentingan organisasi
menjadi nomor dua.
Kedua dimensi kepemimpinan di
atas, apabila berdiri sendiri-sendiri akan menyebabkan kemunduran organisasi.
Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang mampu
mengintegrasikan orientasi tugas dengan orientasi hubungan antara manusia.
Kepemimpinan ini akan selalu memanfaatkan kerja sama dengan para bawahan untuk mencapai
cita-cita dan tujuan organisasi.
D. Kepemimpinan
kepala sekolah
Di era desentralisasi seperti
ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pememrintah
daerah, praktis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam
arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen
sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management
(manajemen berbasis sekolah/MBS).
Dalam konteks MBS, sekolah
harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaannya guna
meningkatkan kwalitas dan efesiensinya. Meskipun demikian, otonomi pendidikan
dalam konteks MBS harus dilakukan dengan selalu mengacu pada akuntabilitas
terhadap masyarakat, orang tua, siswa, maupun pemerintahan pusat dan dareah.
Agar desentralisasi dan
otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu
diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional,
sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan
tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin
yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi
sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala
sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi: perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengawasan.
Dari segi kepemimpinan,
seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan
transformasional, agar semua potensi yang ada disekolah dapat berfungsi secara
optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya
kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua
unsur yang ada di dalam sekolah untuk bekerja atas dalam sistem nilai (values
system) yang luhur, sehinggan semua unsur yang ada di sekolah (guru,
siswa, pegawai, orang tua siswa, masyarakt, dsb) bersedia, tanpa perasaan,
berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri seorang yang telah
berhasil menerapkan gaya kepemiminan transformasional adala sebagai berikut:
1.
Mengidentifiakasi dirinya sebagai agen perubahan
(pembaruan)
2.
Memiliki sifat pemberani
3.
Mempercayai orang lain
4.
Bertindak dasar atas sistem nilai (bukan ata dasar
kepenitingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya)
5.
Meninkatkan kemapuan secara terus menerus
6.
Memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak
jelas, dan tidak menentu
7.
Memiliki visi ke depan([6])
Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi
untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman
kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman
kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah
lama dipraktikkan disebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih
berlangsung.
Beberapa fenomena pendidikan persekolahn sebagai hasil dari
model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara
lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula
pelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan, kwalitas
sekolah yang harus dikaitkan dengan
peningaktan nilai UAN secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada
terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak
negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi.([7])
Pendidikan merupakan sistem kerja yang kerja yang saling
terkait antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Bila selama ini guru
selalu menjadi sorotan sekaligus ujung tombak pelaksanaan pendidikan diberbagai
jenjang, sebenarnya masih ada komponen lain yang harus diberdayakan dalam
aplikasi pendidikan dilapis bawah yaitu peran kepala sekolah. Kinerja guru
dalam mengabdiakn dirinya sebagai pengajar dan pendidik yang terkait dengan
kondisi lingkungan sekaligus figur kepala sekolah yang menjadi atasannya.
Kepala sekolah selaku pemimpin secara langsung merupakan
contoh nyata dalam aktivitas kerja bawahannya. Kepala sekolah yang rajin,
cermat, peduli terhadap bawahan akan berbeda dengan gaya kepemimpinan yang acuh
tak acuh, kurang komunikatif apalagi arogan dengan komunitas sekolahnya. Beban
kepala sekolah tidak ringan untuk dapat mengkooordinasi sistem kerja yang mampu
memuaskan berbagai pihak tidak gampang. Meskipun demikian kepala sekolah yang
baik tentunya harus memiliki skala prioritas kerja dengan tidak mengabaikan
tugas pokok selaku kepala sekolah.
Terjadinya pergeseran paradigma yang serba sentralistik
menuju pengelolaan manajemen yang desentralistik memberikan dampak yang cukup
besar bagi dunia pendidikan nasional. Dalam upaya mengoptimalkan berbagai
potensi daerah guna menunjang keberhasilan pembangunan nasional, maka
pemerintah menetapkan kebijakan nasional untuk menerapkan sistem desentralisasi
berkaitan dengan pengelolaan manajemen sekolah yang lebih mandiri.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan suatu inovasi
dalam sistem pengelolaan sekoalh yang diadopsi dari konsep “school based
management” . Dalam konsep MBS, sekolah memiliki kewenangan yang luas untuk
menggali dan memanfaatkan sebagai sumber daya sesuai dengan prioritas kebutuhan
aktual sekolah.
Sa’ud([8])
menyatakan ada empat faktor penting yang dapat mendukung implementasi MBS agar
berjalan efektif, diantaranya:
1.
Praktik kepemimpinan demokratis dan pengambialan
kepustusan teknis yang partisipatif disekolah
2.
Pemberdayaan fasilitas pendidikan yang efektif dalam
mendukukung program pembelajaran
3.
Pengembangan kinerja profesional dan budaya kerja “teamwork”
antara pimpinan sekolah dan guru
4.
Partisipasi masyrakat dan orang tua yang tinggi dan
intensif.
Mengapa praktik kepemimpinan kepala sekolah harus demokratis
dan pengambilan keputusan teknis harus bersifat partisipatif ?. Participatif
decision making process membuka ruang yang sangat terbuka bagi seluruh stakeholders
sekolah untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan dalam konteks
manajemen sekolah. Harapannya semua pihak yang terlibat (kepala sekolah,
guru, komite sekolah, orang tua siswa) menjadi merasa memiliki dengan
program sekolah dan mereka memiliki tanggung jawab yang besar dalam
melaksanakan program-program sekolah sesuai dengan tugas dan perannya
masing-masing secara profesional.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh penulis di atas ,
bahwa kepala sekolah adalah motor penggerak utama proses utama pada ruang
lingkup sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah memiliki peran yang sangat tidak
sedikit dalam kaitannya dengan pendidikan. Dalam perspektif kebijakan
pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala
sekolah yaitu, sebagai berikut: educator (Pendidikan), Manager,
administrator, supervisor (penyelia), Leader (pemimpin), pencipta iklim kerja,
dan wirausahawan.
Merujuk
kepada tujuh
peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah
ini akan di uraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan
peningkatan kompetensi guru:
1). Kepala
sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru
merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah
yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan
kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan
tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa
berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus
meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan
efektif dan efisien.
2). Kepala
sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang
harus dilakukan oleh kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan
dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya
dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada guru untuk dapat
melaksanakan kegiatan pengembangan
profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang
dilaksanakan di sekolah, seperti: MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training,
diskusi profesional dsb, atau melalui kegiatan
pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti: kesempatan
melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatiahan yang
diselenggarakan pihak lain.
3). Kepala
sekolah sebagai administrator
Khususnya berkanaan dengan
pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak
lepas dari faktor biaya. Sebarapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggarakan
peningakatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat
kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat
mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4). Kepala
sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan
pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan
supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk
mengamati pembelajaran secara langsung, tertama dalam pemilihan dan pengguanaan
metode, media yang digunakan da keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran([9])
dari hasil supervisi ini, dapat diketehui kelemahan sekaligus keunggulan guru
dalam melaksakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang
bersangkutan, selanjutanya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut
tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus
mempertahankan keunggulunnya dalam melaksakan pembelajaran.
5). Kepala
sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan
kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru?.
Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi
pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah
dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel,
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk
dipertimbangkan dari hasil studi Bambang Budi Wiyono([10])
(2000) terhaap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap
bahwa etos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan
gaya kepamimpinan yang berorientasi pada manusia.
Berkaitan dengan kepemimpinan, Mulyasa mengungkapkan bahwa
kepemimpinan seseorang berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala
sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai berikut: jujur,
percaya diri, tanggung jawab, berani mengambil resiko dan keputusan, berjiwa
besar, emosi yang stabil, dan teladan([11]).
Pemimpin adalah manusia, tetapi tidaklah semua manusia itu
adalah pemimpin. Kepala sekolah adalah sosok idealnya memiliki visi, mampu
memberikan inspirasi dan motivasi, serta kompeten (Kouzes dan Posner)([12]).
Andrias Harefa menyatakan bahwa berbicara masalah pemimpin dan kepemimpinan,
maka kita selalu berurusan dengan soal efektivitas, mengurus people,
memberdayakan dan memerdekakan potensi orang.
Berbicara masalah efektivitas, maka kita sedang berfokus pada
langkah-langkah strategis yang dilakukan kepala sekolah dalam upaya pencapaian
prestasi dan peningkatan kinerja bawahannya yang mampu memuaskan stakeholders
pendidikan. Mengingat bawahannya adalah people yang relatif memiliki sifat
manusiawi, maka kepala sekoalah harus mampu memotivasi dengan baik karena
mempengaruhi motivasi seseorang berarti membuat orang tersebut melakukan apa
yang kita inginkan. Karena fungsi utama dari kepemimpinan adalah memimpin, maka
kemampuan untuk mempengaruhi orang adalah hal yang penting.
Melakukan tindakan-tindakan efektif dalam memotivasi bawahan
adalah suatu keharusan sebaliknya melakukan tindakan kontra produktif yang
dapat menjatuhkan motivasi bawahannya adalah suatu tindakan yang harus
dihindari. MM Feinberg memberikan sebuah “lampu merah” bagi seorang
kepala sekolah untuk menghindarkan tindakan-tindakan berikut yang mampu
menjatuhkan motivasi bawahannya, diantaranya:
1)
Meremehkan bawahan. Tindakan ini bisa membunuh rasa
percaya diri dan inisiatif karayawan.
2)
Mengkritik karyawan didepan karyawan lain. Tindakan ini
pun bisa merusak hubungan yang sudah terbina baik.
3)
Memberi perhatian setengah-setengah atau tidak
memperhatikan karyawan. Kalau seorang pemimpin tidak mempeduliakan karayawannya
maka rasa percaya diarinya akan luntur.
4)
Memperhatikan diri sendiri. Pemimpin yang seperti ini
dianggap egois dan hanya memanipulasi karyawan untuk kepentingannya sendiri.
5)
Menganakemaskan seorang karyawan. Tindakan ini sebaiknya
juga tidak dilakukan, karean bisa merusak moral karyawan lain.
6)
Tidak mendorong karyawan untuk berkembang. Kalau
karayawan merasa bahwa bos juga ikut berjuang bersama, mereka akan sangat
termotivasi. Informasikan kesempatan yang ada dan jangan pernah mengekang minat
para karyawan.
7)
Tidak mempedulikan hal-hal kecil. Apa yang nampaknya
kecil bagi anda, mungkin saja sangat penting bagi karyawan.
8)
Merendahkan karyawan yang kurang terampil. Seorang
pemimpin memang wajib menolerir ketidak mampuan karyawannya, namun hati-hati
dalam menangani permasalahan yang ditimbulkan agar tidak sampai mempermalukan
karayawannya.
9)
Ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Atasan yang
ragu-ragu dalam mengambil keputusan akan mengakibatkan kebimbangan diseluruh
organisasi.
Seorang manajer sekolah bertanggung jawab dan yakin bahwa
kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar
lalu mengerjakan dengan pula. Oleh karena itu, visi dan misi sekolah harus
dipahami terlebih dahulu sebelum menjadi titik tolak prediksi dan sebelum
disosialisasikan([13]).
Hanya dengan itu, kepala sekolah dapat membuat prediksi dan merancang langkah
antisipasi yang tepat sasaran. Selain itu diperlukan suatu unjuk profesional
yang kelihatannnya sepele, tetapi begitu urgen seperti kemahiran menggunakan
filsafat pendidikan, psikologi, ilmu kepemimpinan, serta antropologi dan
sosiologi.
6). Kepala
sekolah sebagai pencipta iklim
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih
termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha
untuk meningkatakn kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan
budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1). Para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya
menarik dan menyenangkan,
2). Tujuan kegiatan perlu disusun dengan jelas dan diinformasiakan kepada
para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat
dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut,
3). Para guru harus
selalu dberitahu tentang dari setiap pekerjaanya,
4). Pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman
juga diperluakan,
5). Usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosiologi-psikologi-fisik guru,
sehingga memperoleh kepuasan.([14])
7). Kepala
sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi
guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan
komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap
kewirausahaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif
di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses
pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya. Sejauh mana kepala sekolah dapat
mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada
gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
E. Tipe
Kepemimpinan Pendidikan (Sekolah)
Secara umum, ada tiga tipe
kepemimpinan dalam kehidupan suatu organisasi, termasuk organisasi sekolah,
yaitu tipe kepemimpinan yang otoriter, laissez faire, dan demokratis.
a.
Tipe Otoriter
Dalam tipe
kepemimpinan otoriter ini, seorang pemimpin lebih bersifat ingin berkuasa, dan
akibatnya suasana sekolah selalu tegang. Pemimpin sama sekali tidak memberi
kebebasan kepada bawahan untuk turut ambil bagian dalam memutuskan suatu
persoalan, dan keputusan hanya dibuat sendiri oleh pemimpin. Dalam hal ini,
pemimpin selalu mendikte tentang apa yang harus dikerjakan oleh karyawannya.
b.
Tipe Laissez-faire
Sifat
kepemimpinan tipe ini seolah-olah tidak muncul, karena pemimpin memberikan
kebebasan yang penuh kepada para anggotanya dalam melaksanakan tugasnya, dan
bawahan dalam hal ini mempunyai peluang besar untuk membuat keputusan.
c.
Tipe Demokratis
Dapat
dikatakan bahwa tipe kepemimpinan demokratis ini adalah tipe kepemimpinan yang
diharapkan dalam sebuah sekoalah. Mengingat bahwa dalam tipe kepemimpinan ini,
seorang pemimpin selalu mengikutsertakan seluruh bawahan dalam proses pengambilan
keputusan. Pemimipin akan mengahargai pendapat dan kreativitas para dosen dan
karyawan yang ada di lingkungan sekolah, sehingga para bawahan pun akan turut
serta bertanggung jawab dalam pelaksanaan program di sekolah tersebut.
Seorang pemimpin harus
mau dan mampu memberikan pelayanan terhadap orang lain dengan suatu pendekatan
yang holistik, sehingga pemimpin tersebut tidak lagi merupakan orang nomor
satu yang senatiasa menjadi sumber yang harus didengar oleh kelompoknya.
Tetapi sebaliknya, pemimpin justru harus mau mendengarkan inisiatif kelompoknya
dan mampu melayani mereka agar organisasi dapat berjalan secara efektif dan
efesien.
Untuk dapat menjadi
pemimpin yang demikian, ada lima kekuatan kepemimpinan yang merupakan hal-hal
yang sangat mempengaruhi kegiatan persekolahan, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Suharsimi Arikunto,([15])
yaitu:
1. Kekuatan Teknikal
Kekuatan teknikal ini berasal dari teknik-teknik manajemen,
dan berhubungan dengan aspek-aspek teknis kepemimpinan. Prinsip-prinsip
kekuatan teknikal ini dapat dikatakan sama dengan prinsip-prinsip “perencanaan
manajemen”, yaitu meliputi konsep-konsep perencanaan dan manajemen, teori-teori
kontingensi kepemimpinan, dan struktur-struktur organisasi. Kekuatan teknikal
ini sangat penting karena akan menjamin terselenggaranya pengaturan kegiatan
persekolahan dengan baik.
2.
Kekuatan Manusia
Kekuatan
manusia ini berasal dari pemanfaatan potensi sosial dan antar pribadi suatu
sekolah, yaitu unsur manusianya. Di samping itu, kekuatan manusia ini juga
berhubungan dengan aspek-aspek kemanusiaan suatu kepemimpinan. Suatu kegiatan
persekolahan dapat terlaksana dengan baik dengan adanya kekuatan manusia dalam
kepemimpinannya.
3. Kekuatan
Pendidikan
Kekuatan pendidiakan merupakan
kekuatan kepemimpinan yang berasal dari pengatahuan mengenai masalah-masalah pendidikan
dan kegiatan persekolahan. Kekuatan ini berhubungan dengan aspek-aspek
pendidikan suatu kepemimpinan. Prinsip-prinsip kekuatan pendidikan ini
mengandung unsur-unsur pengajaran, pengembangan program pendidikan dan
supervisi.
4. Kekuatan Simbolik
Kekuatan simbolik kepemimpinan ini berasal dari pemusatan
perhatian pada masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan persekolahan.
Kekuatan ini berhubungan dengan aspek-aspek simbolik kepemimpinan. Kekuatan
simbolik kepemimpinan terutama berasal dari kebutuhan seseorang yang memegang
posisi formal dalam suatu organisasi akan perasaan yang menganai apa yang
penting, dan kebutuhan untuk memberikan tanda mengenai apa yang berharga bagi
organisasi.
5.
Kekuatan Budaya
Kekuatan budaya adalah kekuatan
kepemimpinan yang berasal dari suatu kebudayaan sekolah yang unik dan
berhubungan dengan aspek-aspek kebudayaan suatu sekolah. Ketika menunjukkan kekuatan
budaya ini, kepala sekolah bertindak sebagai seorang yang mendefinisikan,
memperkuat, serta mengartikulasikan nilai-nilai, kepercayaan, dan segi-segi
budaya yang memberikan identitas yang unik pada sekolahnya.
Seorang kepala sekolah
merupakan pelaku yang sangat dominan dalam sebuah sistem persekolahan, karena
ia bersifat nyata, aktif, dan dinamis, dan ia juga menganut sistem manajemen
pada umumnya, seperti prinsip-prinsip efesiensi, efektivitas, dan inovatif.
Efesiensi ialah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan usaha yang
dikeluarakan; sedangkan efektivitas ialah perbandingan antara hasil yang
dicapai dengan hasil yang diharapakan; sementara inovasi merupakan instrumen
utama bagi suatu oraganisasi sekolah untuk menciptakan nilai dan cara memperharui
dirinya.
Berdasarkan
prinsip-prinsip ini, dalam buhungan ke dalam, kepala sekolah bertanggung jawab
mengembangkan kemampuan guru, dan membangun hubungan kerja secara vertikal dan
horizontal yang saling mendukung, serta menciptakan suasana kerja yang
bergairah, sehingga kreativitas bawahan dapat dipacu dan pada gilirannya akan
menjamin berlangsungnya inovasi yang terus-menerus. Dan dalam hubungan ke luar,
kepala sekolah bertanggung jawab membina dan memelihara hubungan dengan
lingkungan sekolah lainnya, serta lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Dengan demikian
keberhasialan seorang kepala sekolah dalam mengelola sekolah ditentukan oleh
dua faktor, yaitu:
1).Kemampuan inovasi, yaitu keberanian melakukan sesuatu
yang baru, mengidentifikasi berbagai
kebutuhan, dan memanfaatkan peluang yang terbuka bagi pencapaian tujuan
sekolah, dan
2).Tingkat efesiensi dan efektivitas yang dapat dicapai
dalam gerak organisasi sekolah yang dipimpinnya.([16])
[1] Suyanto, kepemimpinan kepala sekolah : http://www.kompas.com
/kompas-cetak /0103/23/dikbud/foru09.htm
[3] James M.
Lipham, The Prancipalship: Fundations and Functions (London:
Harper and Row, 1974). h. 75.
[4] Steven Altman, Organisational Behavior:
Theory and Practice (Florida: Academic Press, 1985). h. 112.
[6] Lutans, dalam Fred C. Lunenburg, Alan C,
Ornstein. 2004. Educational Administration; Concepts and Practices. Singapore:
Thomson Wadsworth.
[7] Suyanto, Kepemimpinan Kepala Sekolah, sahabat
guru, 27september 2007, diakses dari http://google.co.id 15 Maret 2009.
[8] Dalam Asep Sapa’at, Dicari Kepala Sekolah Visioner,
Sahabat Guru, 3 juli 2008, diakses dari http://google. Co. Id 15 maret 2009
[10] Bambang Budi Wiyono.
Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Ethos Kerja Guru Sd di kabupaten
Bantul. Tesis. Yogyakarta 2004. td
[12] Asep Sapa’at, Dicari
Kepala Sekolah visioner, Sahabat Guru, 3 Juli 2008, diakses dari http://geogle .co.id 15 Maret 2009
[13] Dadang Iskandar, Wajah
Kepala Sekolah, Sahabat Guru, 3 Juli
2008, diakses dari http://google.co.id 15 Maret 2009
[14] Modifikasi dari pemikiran
E. Mulyasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, Jakarta, Media Pustaka
2003
[15] Arikunto, Suharsini,
Organisasi dan Administrasi, Pendidikan Teknologi dan Keguruan (Jakarta:
Rajawali Pers, 1990), h. 197.
terikasih kak, sangat membantu
ReplyDelete