Thursday 7 February 2013

PROFIL PENDIDIK DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



A.    Latar Belakang
Pada hakikatnya, guru adalah tenaga pendidik yang memiliki tugas mengajar. Menurut tafsir, pengertian guru adalah: “siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik.”[1] Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa seorang guru adalah orang yang memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk mengarahkan dan membimbing seorang anak kearah perkembangan potensi pribadi secara optimal baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru memiliki peran untuk mengembangkan potensi tersebut secara seimbang sampai pada tingkat yang setinggi mungkin.

Pengertian guru tersebut diatas memberikan kejelasan tentang eksistensi guru yang sesungguhnya. Bahwa guru tidak hanya menjadi penanggung jawab kegiatan pembelajaran akan tetapi sekaligus menjadi pembimbing dan pelatih kepada siswa, termasuk bertanggung jawab terhadap kemajuan masyarakat melalui penelitian dan pengembangan.
Untuk mengaktualisasikan tujuan tersebut, seorang pendidik memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan peserta didik kearah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia pendidikan sangat krusial. Hal ini disebabkan kewajibannya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta didik. Bentuk nilai yang ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak meliputi: nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius.

B.     Terminologi Pendidik
Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya). Selanjutnya dengan menambahkan awalan pe hingga menjadi pendidik, yang artinya orang yang mendidik.
Secara terminologi, pendidik menurut Ahmad Tafsir[2] adalah orang yang bertanggungjawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif maupun potensi psikomatoriknya. “sementara pendidik menurut Imam Barnadib[3] adalah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Pendidik terdiri dari; 1) orang tua; dan 2) orang dewasa lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.” Selanjutnya, Ahmad Marimba[4] memandang bahwa, “pendidik sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajiban bertanggungjawab tentang pendidikan si terdidik.” Di dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab 1 pasal 6, dibedakan antara pendidik dengan tenaga kependidikan tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain sesuai kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.[5]
Secara umum istilah pendidikan dikenal dengan guru. Hadari Nawawi[6], mengatakan bahwa guru adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah/kelas. Secara khusus Hadari Nawawi mengatakan bahwa guru adalah orang yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa besar serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.
Dalam pengertian yang lebih luas pendidik dalam perspektif pendidikan islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani peserta dodol agar ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Oleh karena itu pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
C.    Istilah-istilah Pendidik dalam Konteks Pendidikan Islam
Beberapa definisi diatas mengisyaratkan, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kematangan aspek rohani dan jasmani anak. Pendidik itu bisa saja orang tua dari si terdidik itu sendiri, atau orang lain yang telah diserahi tanggung jawab oleh orang tua.
Dalam konteks pendidikan islam, pendidikan disebut murabbi, muallim, mu’addib, mudarris. Dan masih banyak istilah lainnya yang belum disebutkan.
1.      Murabbi
 Istilah ini merupakan bentuk (shigah) al-ism al fail yang berakar dari tiga kata. Pertama, berasal dari kata raba, yarbu yang artinya zad dan nama (bertambah dan tumbuh). Contoh kalimat dapat dikemukakan, artinya, saya menumbuhkannya.[7] Kedua, berasal dari kata rabiya, yarba yang mempunyai makna tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tarara’a). Ketiga berasal dari kata rabba yarubbu yang artinya memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Kata kerja rabba semenjak masa Rasulullah sudah dikenal dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Firman Allah SWT: “Dan ucapkanlah Wahai Tuhanku, sayangilah mereka berdua sebagaimana ia telah menyayangiku semenjak kecil.” (Q.S. Al-Isra’:24)
Dalam bentuk kata benda, kata rabba digunakan untuk Tuhan, hal tersebut karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan bahkan menciptakan. Firman Allah SWT: “Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.” (Q.S.Al-Fatihah: 2). Oleh karena itu istilah murabbi sebagai pendidik mengandung makna yang luas, yaitu: 1) mendidik peserta didik agar kemampuannya terus meningkat; 2) memberikan bantuan terhadap peserta didik untuk mengembangkan potensinya; 3) meningkatkan kemampuan peserta didik dari keadaan yang kurang dewasa menjadi dewasa dalam po;a pikir, wawasan, dan sebagainya; 4) menghimpun semua komponen-komponen pendidikan yang dapat mensukseskan pendidikan; 5) memobilisasi pertumbuhan dan perkembagan anak; 6) bertanggung jawab terhadap proses pendidikan anak; 7) memperbaiki sikap dan tingkah laku anak dari yang tidak baik menjadi baik; 8) rasa kasih sayang mengasuh peserta didik, sebagaimana orang tua menyayangi anak kandungnya. 9) pendidik memiliki wewenang, kehormatan, kekuasaan, terhadap pengembangan kepribadian anak; 10) pendidik merupakan orang tua kedua setelah orang tuanya dirumah yang berhak atas perkembangan dan pertumbuhan si anak.[8]
2.      Mu’allim
Mu’allim berasal dari al-fi’al al-madhi ‘allama, mudhari’nya yu’allimu dan mashdarnya al-ta’lim. Artinya, telah mengajar, sedang mengajar, dan pengajaran. Kata mu’allim sebagai pendidik dalam Hadits Rasulullah adalah kata yang paling umum dikenal dan banyak ditemukan. Mu’allim merupakan al-ism al fa’il dari ‘allama yang artinya orang yang mengajar. Dalam bentuk tsulatsi mujarrad, mashdar dari ‘alima adalah ‘ilmun, yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia disebut ilmu.[9]
Dalam proses pendidikan istilah pendidikan yang kedua yang dikenal sesudah at-tarbiyyat adalah at-ta’lim. Rasyid Rida, mengatakan at-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada individu.
Firman Allah SWT: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan kami mensucikan kamu mengajarkan kepada kamu apa yang telah belum kamu ketahui.” (Q.S.Al-Baqarah: 251)
Berdasarkan ayat diatas, maka mu’allim adalah orang yang mampu untuk merekonstruksi bangunan ilmu secara sistematis dalam pemikiran peserta didik dalam bentuk ide, wawasan, kecakapan, dan sebagainya, yang ada kaitannya dengan hakikat sesuatu. Mu’allim adalah orang yang memiliki kemampuan unggul dibandingkan dengan peserta didik, yang dengannya ia dipercaya menghantarkan peserta didik kearah kesempurnaan dan kemandirian.

3.      Mu’addib
Mu’addib merupakan al-ism al-fa’il dari madhinya addaba. Addaba artinya mendidik, sementara Mu’addib artinya orang yang mendidik atau pendidik. Dalam wazan fi’il tsulatsi mujarrad, mashdar aduba adalah adaban artinya sopan, berbudi baik. Al-adabu artinya kesopanan, adapun mashdar dari addaba adalah ta’dib, yang artinya pendidikan.[10]
Secara bahasa mu’addib merupakan bentukan mashdar dari kata addaba yang berarti memberi adab, mendidik.[11] Adab dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan tata krama, sopan-santun, akhlak, budi pekerti. Anak yang beradab biasanya dipahami sebagai anak yang sopan yang mempunyai tingkah laku yang terpuji.
Dalam kamus bahasa Arab, Al-Mu’jam al-wasith istilah mu’addib mempunyai makna dasar sebagai berikut: 1) ta’dib berasal dari kata “aduba - ya’dubu” yang berarti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun; 2) kata dasarnya, adaba yadibu yang artinya mengadakan pesta atau perjamuan yang berarti berbuat dan berperilaku sopan; 3) addaba mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan memberikan tindakan.[12]
Dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam, pengertian adab adalah etiket atau tata cara yang baik dalam melakukan suatu pekerjaan, baik ibadah maupun muamalah. Karena itu ulama menggariskan adab-adab tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Adab tertentu itu misalnya memberi salam dan minta izin sebelum memasuki sebuah rumah, adab berjabatan tangan dan berpelukan, adab hendak tidur, adab duduk, berbaring, dan berjalan, adab bersin dan menguap, adab makan dan minum, adab berdzikir, adab masuk kakus, adab mandi, adab wudhu, adab sebelum dan ketika melaksanakan shalat, adab imam dan makmum, adab menuju masjid, adab di dalam masjid, adab jum’atan, adab puasa, adab berkumpul, adab guru, adab murid dan lain-lain.
Berdasarkan tinjauan etimologi diatas, maka secara terminologi mu’addib adalah seorang pendidik yang bertugas untuk menciptakan suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berperilaku atau beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila dan sopan-santun yang berlaku dalam masyarakat.
4.      Mudarris
Secara terminologi mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.[13]
Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa mudarris adalah orang yang mengajarkan suatu ilmu kepada orang lain dengan metode-metode tertentu dalam upaya membangkitkan usaha peserta didik agar sadar dalam upaya meningkatkan potensinya. Dalam bahasa yang lebih ringkas mudarris adalah orang yang dipercayakan sebagai guru dalam upaya membelajarkan peserta didik.[14]
D.    Interaksi Fungsi Guru dan Peserta didik dalam Penyiapan Generasi Ulul Albab
Dari telaah historis penelitian tentang efektivitas keberhasilan guru dalam menjalankan tugas kependidikannya, Medley menemukan beberapa asumsi keberhasilan guru, yang pada gilirannya dijadikan titik tolak dalam pengembangannya, yaitu: pertama, asumsi sukses guru tergantung pada kepribadiannya; kedua, asumsi sukses guru tergantung pada penguasaan metode; ketiga, asumsi sukses guru tergantung pada frekuensi dan intensitas aktifitas interaktif guru dengan siswa; dan keempat, asumsi bahwa apapun dasar dan alasannya penampilan gurulah yang terpenting sebagai tanda memiliki wawasan, ada indikator menguasai materi, ada indikator menguasai strategi belajar-mengajar, dan lainnya.[15] Asumsi yang keempat ini memang lebih komprehensif, sehingga dijadikan titik tolak dalam pengembangan guru, yang biasa disebut dengan PTKBK (pendidikan tenaga kependidikan berbasis kompetensi) atau CBTE (competency based teacher education).
Hasil telaah Medley tersebut mengandung makna terjadinya dinamika asumsi sukses guru dari masa ke masa, yang berimplikasi pula pada perkembangan tuntutan dan tantangan yang dihadapi. Karena itu, diperlukan upaya empowering profesional secara berkelanjutan terhadap eksistensi guru, baik dari aspek moral spiritual, akademik maupun kehidupan sosial ekonominya, sehingga guru tetap menjadi idola dan sekaligus pilihan profesi bagi banyak orang, serta benar-benar dapat berperan secara optimal bagi pembelajaran peserta didik di sekolah atau luar sekolah.[16]
Berdasarkan konsep pendidikan modern, kompetensi guru masa mendatang menghadapi dinamika perubahan yang perlu diantisipasi, diantaranya mencakup: 1) guru adalah tenaga yang profesional daripada tenaga sambilan; 2) penggunaan media cetak; 3) penggunaan teknologi elektronika.[17] Hal ini berimplikasi pada perlunya guru untuk  bersikap dinamis dan kreatif dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber informasi. Dalam era globalisasi, arus informasi dapat muncul dari berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Akibatnya, guru bukan lagi merupakan satu-satunya orang yang paling well-informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini.[18] Dampak akademiknya adalah ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari guru cepat usang (out of date).
Interaksi guru dan peserta didik dalam penyiapan generasi ulul albab memerlukan pemahaman terhadap istilah-istilah guru dalam literatur kependidikan Islam sebagai berikut: 1) komitmen terhadap profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement; 2) menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan “transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta amaliah (implementasi)”; 3) mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya; 4) mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya; 5) memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; 6) mampu bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas dimasa depan.
E.     Penutup
Berangkat dari konsep operasional, pendidikan islam adalah proses transformasi ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai islam dalam angka mengembangkan fitrah dan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, guna mencapai keseimbangan dan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan, maka pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam pendidikan islam.
F.      Daftar Pustaka
                                    , Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. (Jakarta : Transmedia 2008)
Al-Khin, Musthofa Sai dkk, Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1977)
al-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul Tarbiyyah al Islamiyah fi baiti wa-al madrasah wa al-mujtama’, terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andioffset, 1993)
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut-Libnan: Dar al-Tatsi al-‘Araby, 711 H)
Muhaimin, M.A, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisasi Islamisasi Pengetahuan. (Bandung: Nuansa, 2003)
Nawawi, Hadari, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta:Haji Masagung, 1989)
Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta:Kalam Mulia, 2009)
Ridha, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam Perspektif Sosiologis-Filosofis, (Yogyakarta : Tiara Wacana 2002)
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda 1991)
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.Naquib Al Attas, (Bandung : Mizan 2003)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990)


[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:Remaja Rosda Karya:1991)., p.74
[2] Ibid., h.74
[3] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta:Andioffset, 1993)., h.61
[4] Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Al Ma’arif, 1980)., h.37
[5] Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta:Kalam Mulia, 2009)., h.138
[6] Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta:Haji Masagung, 1989), cetakan ke 3., h.123
[7] Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut-Libnan: Dar al-Tatsi al-‘Araby, 711 H), jilid IX., h.
[8] Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam...., h.140
[9] Al Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat, mendefinisikan ilmu dengan; 1) ilmu adalah kesimpulan yang pasti sesuai dengan keadaan sesuatu; 2) ilmu adalah menetapkan ide (gambaran) tentang sesuatu alam jiwa dan akal seseorang; 3) ilmu adalah sampainya jiwa kepada hakikat sesuatu. Lihat Al-Jurjani, Al Ta’rifat, (Tunisia: Darul Tunisiyat,tt)., h.82
[10] Lihat, A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:Ponpes Al-Munawwir, 1984)., h.13
[11] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:Hidakarya, 1990)., h.37
[12] Al-Mu’jam Al-Wasith, Kamus Arab, (Jakarta:Matha Angkasa,tt)., h.1
[13] Muhaimin, “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi,” (Jakarta: Raja Grafil Persada, 2005). Cet. Ke-1., h.50
[14] Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam..., h.143
[15] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, (Yogyakarta:Rake Sarasin, 2000)., h.tidak diketahui
[16] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengebangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003)., h.289
[17] Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Lesfi, 2003)., h.tidak diketahui
[18] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan..., h.290

No comments:

Post a Comment

PERANAN KELUARGA DALAM ISLAM

Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun no-Islam. Karena keluarga merupakan tempa...