A.
Latar Belakang
Pada hakikatnya, guru adalah tenaga pendidik yang
memiliki tugas mengajar. Menurut tafsir, pengertian guru adalah: “siapa
saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak
didik.”[1]
Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa seorang guru adalah orang yang
memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk mengarahkan dan membimbing seorang
anak kearah perkembangan potensi pribadi secara optimal baik aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Guru memiliki peran untuk mengembangkan
potensi tersebut secara seimbang sampai pada tingkat yang setinggi mungkin.
Pengertian guru tersebut diatas memberikan kejelasan
tentang eksistensi guru yang sesungguhnya. Bahwa guru tidak hanya
menjadi penanggung jawab kegiatan pembelajaran akan tetapi sekaligus menjadi
pembimbing dan pelatih kepada siswa, termasuk bertanggung jawab terhadap
kemajuan masyarakat melalui penelitian dan pengembangan.
Untuk mengaktualisasikan tujuan tersebut, seorang
pendidik memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan peserta didik kearah tujuan
tersebut, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari
karakteristik kepribadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia
pendidikan sangat krusial. Hal ini disebabkan kewajibannya tidak hanya
mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga
dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta
didik. Bentuk nilai yang ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak
meliputi: nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai
religius.
B.
Terminologi Pendidik
Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya
memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu
pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak,
dan sebagainya). Selanjutnya dengan menambahkan awalan pe hingga menjadi
pendidik, yang artinya orang yang mendidik.
Secara terminologi, pendidik menurut Ahmad Tafsir[2]
adalah orang yang bertanggungjawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan
dan perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif maupun potensi
psikomatoriknya. “sementara pendidik menurut Imam Barnadib[3]
adalah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai
kedewasaan. Pendidik terdiri dari; 1) orang tua; dan 2) orang dewasa lain yang
bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.” Selanjutnya, Ahmad Marimba[4]
memandang bahwa, “pendidik sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban untuk
mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajiban bertanggungjawab
tentang pendidikan si terdidik.” Di dalam undang-undang sistem pendidikan
nasional nomor 20 tahun 2003 bab 1 pasal 6, dibedakan antara pendidik dengan
tenaga kependidikan tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,
dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator
dan sebutan lain sesuai kekhususannya serta berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.[5]
Secara umum istilah pendidikan dikenal dengan guru. Hadari
Nawawi[6],
mengatakan bahwa guru adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan
pelajaran di sekolah/kelas. Secara khusus Hadari Nawawi mengatakan bahwa
guru adalah orang yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak mencapai
kedewasaan masing-masing. Guru bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan
kelas menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota
masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa besar serta kreatif dalam
mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai
orang dewasa.
Dalam pengertian yang lebih luas pendidik dalam
perspektif pendidikan islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya
pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani peserta dodol agar ia mampu
menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun
‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Oleh karena itu pendidik dalam
konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah
tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam
kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
C.
Istilah-istilah Pendidik dalam Konteks Pendidikan Islam
Beberapa definisi diatas mengisyaratkan, bahwa pendidik
adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kematangan aspek
rohani dan jasmani anak. Pendidik itu bisa saja orang tua dari si terdidik itu
sendiri, atau orang lain yang telah diserahi tanggung jawab oleh orang tua.
Dalam konteks pendidikan islam, pendidikan disebut murabbi,
muallim, mu’addib, mudarris. Dan masih banyak istilah lainnya yang belum
disebutkan.
1.
Murabbi
Istilah ini
merupakan bentuk (shigah) al-ism al fail yang berakar dari tiga kata.
Pertama, berasal dari kata raba, yarbu yang artinya zad dan nama
(bertambah dan tumbuh). Contoh kalimat dapat dikemukakan, artinya, saya
menumbuhkannya.[7]
Kedua, berasal dari kata rabiya, yarba yang mempunyai makna tumbuh (nasya’)
dan menjadi besar (tarara’a). Ketiga berasal dari kata rabba yarubbu
yang artinya memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Kata
kerja rabba semenjak masa Rasulullah sudah dikenal dalam ayat Al-Qur’an dan
Hadits Nabi. Firman Allah SWT: “Dan ucapkanlah Wahai Tuhanku, sayangilah
mereka berdua sebagaimana ia telah menyayangiku semenjak kecil.” (Q.S.
Al-Isra’:24)
Dalam bentuk kata benda, kata rabba digunakan untuk Tuhan,
hal tersebut karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan
bahkan menciptakan. Firman Allah SWT: “Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian
alam.” (Q.S.Al-Fatihah: 2). Oleh karena itu istilah murabbi sebagai
pendidik mengandung makna yang luas, yaitu: 1) mendidik peserta didik agar
kemampuannya terus meningkat; 2) memberikan bantuan terhadap peserta didik
untuk mengembangkan potensinya; 3) meningkatkan kemampuan peserta didik dari
keadaan yang kurang dewasa menjadi dewasa dalam po;a pikir, wawasan, dan
sebagainya; 4) menghimpun semua komponen-komponen pendidikan yang dapat
mensukseskan pendidikan; 5) memobilisasi pertumbuhan dan perkembagan anak; 6)
bertanggung jawab terhadap proses pendidikan anak; 7) memperbaiki sikap dan
tingkah laku anak dari yang tidak baik menjadi baik; 8) rasa kasih sayang
mengasuh peserta didik, sebagaimana orang tua menyayangi anak kandungnya. 9)
pendidik memiliki wewenang, kehormatan, kekuasaan, terhadap pengembangan
kepribadian anak; 10) pendidik merupakan orang tua kedua setelah orang tuanya
dirumah yang berhak atas perkembangan dan pertumbuhan si anak.[8]
2.
Mu’allim
Mu’allim
berasal dari al-fi’al al-madhi ‘allama, mudhari’nya yu’allimu dan
mashdarnya al-ta’lim. Artinya, telah mengajar, sedang mengajar,
dan pengajaran. Kata mu’allim sebagai pendidik dalam Hadits Rasulullah
adalah kata yang paling umum dikenal dan banyak ditemukan. Mu’allim merupakan al-ism
al fa’il dari ‘allama yang artinya orang yang mengajar. Dalam bentuk
tsulatsi mujarrad, mashdar dari ‘alima adalah ‘ilmun, yang
sering dipakai dalam bahasa Indonesia disebut ilmu.[9]
Dalam proses pendidikan istilah pendidikan yang kedua
yang dikenal sesudah at-tarbiyyat adalah at-ta’lim. Rasyid Rida,
mengatakan at-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada
individu.
Firman Allah SWT: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan
nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan kami mensucikan kamu mengajarkan
kepada kamu apa yang telah belum kamu ketahui.” (Q.S.Al-Baqarah: 251)
Berdasarkan ayat diatas, maka mu’allim adalah
orang yang mampu untuk merekonstruksi bangunan ilmu secara sistematis dalam
pemikiran peserta didik dalam bentuk ide, wawasan, kecakapan, dan sebagainya,
yang ada kaitannya dengan hakikat sesuatu. Mu’allim adalah orang yang
memiliki kemampuan unggul dibandingkan dengan peserta didik, yang dengannya ia
dipercaya menghantarkan peserta didik kearah kesempurnaan dan kemandirian.
3.
Mu’addib
Mu’addib
merupakan al-ism al-fa’il dari madhinya addaba. Addaba
artinya mendidik, sementara Mu’addib artinya orang yang mendidik atau
pendidik. Dalam wazan fi’il tsulatsi mujarrad, mashdar aduba adalah adaban
artinya sopan, berbudi baik. Al-adabu artinya kesopanan, adapun mashdar
dari addaba adalah ta’dib, yang artinya pendidikan.[10]
Secara bahasa mu’addib merupakan bentukan mashdar
dari kata addaba yang berarti memberi adab, mendidik.[11]
Adab dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan tata krama, sopan-santun,
akhlak, budi pekerti. Anak yang beradab biasanya dipahami sebagai anak yang
sopan yang mempunyai tingkah laku yang terpuji.
Dalam kamus bahasa Arab, Al-Mu’jam al-wasith
istilah mu’addib mempunyai makna dasar sebagai berikut: 1) ta’dib
berasal dari kata “aduba - ya’dubu” yang berarti melatih, mendisiplinkan
diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun; 2) kata dasarnya, adaba
yadibu yang artinya mengadakan pesta atau perjamuan yang berarti berbuat
dan berperilaku sopan; 3) addaba mengandung pengertian mendidik,
melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan memberikan tindakan.[12]
Dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab lainnya tentang
agama Islam, pengertian adab adalah etiket atau tata cara yang baik dalam
melakukan suatu pekerjaan, baik ibadah maupun muamalah. Karena itu ulama
menggariskan adab-adab tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Adab tertentu itu misalnya
memberi salam dan minta izin sebelum memasuki sebuah rumah, adab berjabatan
tangan dan berpelukan, adab hendak tidur, adab duduk, berbaring, dan berjalan,
adab bersin dan menguap, adab makan dan minum, adab berdzikir, adab masuk kakus,
adab mandi, adab wudhu, adab sebelum dan ketika melaksanakan shalat, adab imam
dan makmum, adab menuju masjid, adab di dalam masjid, adab jum’atan, adab
puasa, adab berkumpul, adab guru, adab murid dan lain-lain.
Berdasarkan tinjauan etimologi diatas, maka secara
terminologi mu’addib adalah seorang pendidik yang bertugas untuk menciptakan
suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berperilaku atau
beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila dan sopan-santun yang berlaku
dalam masyarakat.
4.
Mudarris
Secara terminologi mudarris adalah orang yang
memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan
dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta
didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya.[13]
Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa mudarris
adalah orang yang mengajarkan suatu ilmu kepada orang lain dengan metode-metode
tertentu dalam upaya membangkitkan usaha peserta didik agar sadar dalam upaya
meningkatkan potensinya. Dalam bahasa yang lebih ringkas mudarris adalah
orang yang dipercayakan sebagai guru dalam upaya membelajarkan peserta didik.[14]
D.
Interaksi Fungsi Guru dan Peserta didik dalam Penyiapan
Generasi Ulul Albab
Dari telaah historis penelitian tentang efektivitas
keberhasilan guru dalam menjalankan tugas kependidikannya, Medley
menemukan beberapa asumsi keberhasilan guru, yang pada gilirannya dijadikan
titik tolak dalam pengembangannya, yaitu: pertama, asumsi sukses guru
tergantung pada kepribadiannya; kedua, asumsi sukses guru tergantung
pada penguasaan metode; ketiga, asumsi sukses guru tergantung pada
frekuensi dan intensitas aktifitas interaktif guru dengan siswa; dan keempat,
asumsi bahwa apapun dasar dan alasannya penampilan gurulah yang terpenting
sebagai tanda memiliki wawasan, ada indikator menguasai materi, ada indikator
menguasai strategi belajar-mengajar, dan lainnya.[15]
Asumsi yang keempat ini memang lebih komprehensif, sehingga dijadikan titik
tolak dalam pengembangan guru, yang biasa disebut dengan PTKBK (pendidikan
tenaga kependidikan berbasis kompetensi) atau CBTE (competency based teacher
education).
Hasil telaah Medley tersebut mengandung makna
terjadinya dinamika asumsi sukses guru dari masa ke masa, yang berimplikasi
pula pada perkembangan tuntutan dan tantangan yang dihadapi. Karena itu,
diperlukan upaya empowering profesional secara berkelanjutan terhadap
eksistensi guru, baik dari aspek moral spiritual, akademik maupun kehidupan
sosial ekonominya, sehingga guru tetap menjadi idola dan sekaligus pilihan
profesi bagi banyak orang, serta benar-benar dapat berperan secara optimal bagi
pembelajaran peserta didik di sekolah atau luar sekolah.[16]
Berdasarkan konsep pendidikan modern, kompetensi guru
masa mendatang menghadapi dinamika perubahan yang perlu diantisipasi,
diantaranya mencakup: 1) guru adalah tenaga yang profesional daripada tenaga
sambilan; 2) penggunaan media cetak; 3) penggunaan teknologi elektronika.[17]
Hal ini berimplikasi pada perlunya guru untuk
bersikap dinamis dan kreatif dalam mengakses dan memanfaatkan
sumber-sumber informasi. Dalam era globalisasi, arus informasi dapat muncul
dari berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Akibatnya, guru bukan
lagi merupakan satu-satunya orang yang paling well-informed terhadap berbagai
informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang dan berinteraksi
dengan manusia di jagat raya ini.[18]
Dampak akademiknya adalah ilmu dan pengetahuan yang diperoleh dari guru cepat
usang (out of date).
Interaksi guru dan peserta didik dalam penyiapan generasi
ulul albab memerlukan pemahaman terhadap istilah-istilah guru dalam literatur
kependidikan Islam sebagai berikut: 1) komitmen terhadap
profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap
mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement; 2)
menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam
kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya, atau sekaligus
melakukan “transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta amaliah
(implementasi)”; 3) mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu
berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak
menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya; 4) mampu
menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan,
teladan dan konsultan bagi peserta didiknya; 5) memiliki kepekaan
intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya
secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas
kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya; 6) mampu bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang
berkualitas dimasa depan.
E.
Penutup
Berangkat dari konsep operasional, pendidikan islam
adalah proses transformasi ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai islam
dalam angka mengembangkan fitrah dan kemampuan dasar yang dimiliki
peserta didik, guna mencapai keseimbangan dan kesetaraan dalam berbagai aspek
kehidupan, maka pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam pendidikan
islam.
F.
Daftar Pustaka
, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. (Jakarta : Transmedia 2008)
Al-Khin, Musthofa Sai dkk, Nuzhah
al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1977)
al-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul
Tarbiyyah al Islamiyah fi baiti wa-al madrasah wa al-mujtama’, terj.
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Barnadib, Sutari Imam, Pengantar
Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andioffset, 1993)
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab,
(Beirut-Libnan: Dar al-Tatsi al-‘Araby, 711 H)
Muhaimin, M.A, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga
Redefinisasi Islamisasi Pengetahuan. (Bandung: Nuansa, 2003)
Nawawi, Hadari, Organisasi
Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta:Haji Masagung, 1989)
Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,
(Jakarta:Kalam Mulia, 2009)
Ridha, Muhammad Jawwad, Tiga
Aliran Utama Teori Pendidikan Islam Perspektif Sosiologis-Filosofis,
(Yogyakarta : Tiara Wacana 2002)
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda 1991)
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.Naquib Al Attas, (Bandung : Mizan 2003)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990)
[3] Sutari Imam Barnadib, Pengantar
Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta:Andioffset, 1993)., h.61
[5] Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta:Kalam Mulia, 2009)., h.138
[6] Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta:Haji
Masagung, 1989), cetakan ke 3., h.123
[8] Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam...., h.140
[9] Al Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat,
mendefinisikan ilmu dengan; 1) ilmu adalah kesimpulan yang pasti sesuai dengan
keadaan sesuatu; 2) ilmu adalah menetapkan ide (gambaran) tentang sesuatu alam
jiwa dan akal seseorang; 3) ilmu adalah sampainya jiwa kepada hakikat sesuatu.
Lihat Al-Jurjani, Al Ta’rifat, (Tunisia: Darul Tunisiyat,tt)., h.82
[10] Lihat, A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta:Ponpes Al-Munawwir, 1984)., h.13
[13] Muhaimin, “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi,” (Jakarta: Raja Grafil Persada, 2005). Cet.
Ke-1., h.50
[15] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Teori Pendidikan
Pelaku Sosial Kreatif, (Yogyakarta:Rake Sarasin, 2000)., h.tidak diketahui
[16] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan
Islam, Pemberdayaan, Pengebangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi
pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003)., h.289
[17] Djohar, Pendidikan
Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Lesfi,
2003)., h.tidak diketahui
No comments:
Post a Comment