Memberi itu Menyehatkan
Orang yang sakit ketika berfikir untuk memberi justru melahirkan
optimis sehingga cepat merasa sehat bahkan do’anuya mustajabah.
Imam Ahmad tetap kuat
meski disiksa di balik penjara. Dialah Imam Ahlus Sunnah yang benar-benar
menyejarah. Hasan Al-Bana tetap berangkat mengisi ceramah dakwah, meski
tubuhnya sakit sehingga harus dipandu. Semangatnya menyembuhkannya. Semangat
membuat tubuhnya sehat dan kuat. Jendral Soedirman tetap berjihad,
berperang melakukan perlawanan terhadap penjajahan meski sakit parah dan terus
berjuang menyusur dari hutan ke hutan, dari desa dan kota, berjalan dalam
tanduan. Syaikh Ahmad Yasin tetap
berjuang dari kursi rodanya melakukan jihad Intifadhah melawan kekejaman Israel
la’natullah ‘alaihi meski dalam kelumpuhan badan. Begitulah bila jiwa
itu besar, maka tubuh tak akan sanggup melayani.
Sebaliknya…
Orang sehat namun tidak pernah berfikir uuntuk member manfaat,
tubuhnya cepat lelah dan gampang sakit.
Perhatikan orang-orang baru sedikit mengalami cobaan dan ujian,
namun mudah menyerah dan berbellok jalan serta berbalik arah kemudi menjadi tak
pasti. Bernyanyi mengumbar aib sana-sini ketika dalam perjuangannya tak
mendapatkan “keuntungan” duniawi seperti yang dibagikan Nabi seusai Perang
Hunain. Mudah mengeluh padahal belum bersungguh-sungguh serius di jalan yang
ditempuh. Mudah menangis dan meringis ketika menemukan duri-duri kecil maupun
kerikil-kerikil nakal sandungan di perjalanan dakwah. Mudah menuduh sana-sini
tak peduli, padahal pada saat yang sama dia sendiri tak rajin hadir dan
komunikasi. Gampang hengkang ketika pendapat, usulan, dan gagasannya tak
dipandang, padahal karena memang ia tak mampu menarasikan dengan jelas dan
gambling.
Alamak, begitu rentan
orang-orang yang hanya sok sibuk dan seolah-olah sibuk, sementara belum
seberapa bila dibandingkan dengan pengorbanan shahabat yang paling kecil
sekalipun. Shahabat yang sangat bersedih ketikatak mampu berpartisipasi karena
tak ada dana, kendaraan, perbekalan, peralatan perang untuk berjihad bersama
Rasulullah. Lalu apa yang ia lakukan?
Ia pun bangun di malam hari, menegakkan shalat, memohon ampun
kepada Allah atas ketidakmampuan memenuhi panggilan jihad dan memohonkan
ampunan terhadap orang-orang yang pernah menzaliminya, memaafkan, dan
menjadikannya sebagai sedekah terbesar yang ia bias lakukan.
Itulah kebesaran jiwa yang gagah dan tak mudah kalah oleh masalah.
Teap bersedekah, minimal memaafkan ikhwah fillah. Pernah melakukan, wahai
Saudaraku?
Dan orang-orang yang dating sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),
mereka berdo’a: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. al-Hasyr : 59)
Itulah bekal spiritual dalam
perjalanan SPS ini dengan kebersihan hati. Sesungguhnya asas kebaikan itu, kata Hasan
al-Bana, terletak pada kesucian jiwa, kebersihan hati, ketekunan dalam
berbuiat,cinta kepada Allah, intensitas keterikatan pada nilai-nilai kebaikan.
Kalau kita tak mampu mengelola kebersihan hati, bagaiman bisa menghadirkan solusi? Apabila tidak membersihkan orientasi untuk
berfikir memberi dan berkontribusi yang sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya
bagi izzah dakwah, bagi tegaknya kalimatullah, bagi tersebarnya kebaikan dan
bagi hadirnya keberkahan, maka yang terjadi adalah rasa nuntut menunjukkan
ketidakmauan dan ketidakmampuan untuk melakukan. Think fresh do the best,
give the best get the best. (lihat pada buku secara langsung, Insya Allah dak akan
nyesel apalagi mau baca bukunya “Spiritual Problem Solving”)
IT'S VERY GOOD
ReplyDelete