Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun no-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya.
Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam
pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan
masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya.
Musuh-musuh Islam telah menyadari pentingnya
peranan keluarga ini. Maka mereka pun tak segan-segan dalam upaya menghancurkan
dan merobohkannya. Mereka mengerahkan segala usaha untuk mencapai tujuan itu.
Sarana yang mereka pergunakan antara lain:
1.
Merusak wanita muslimah dan mempropagandakan
kepadanya agar meninggalkan tugasnya yang utama dalam menjaga keluarga dan
mempersiapkan generasi.
2.
Merusak generasi muda dengan upaya mendidik mereka
di tempat-tempat pengasuhan yang jauh dari keluarga, agar mudah dirusak
nantinya.
3.
Merusak masyarakat dengan menyebarkan kerusakan
dan kehancuran, sehingga keluarga, individu dan masyarakat seluruhnya dapat
dihancurkan.
Sebelum ini, para ulama umat Islam telah menyadari
pentingnya pendidikan melalui keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika
membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah,
bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih
suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan betukan, dia siap
diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadnya.
Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan, dan
berbahagialah kedua orangtuanya di dunia dan akherat, juga setiap pendidik dan
gurunya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagaimana binatang
ternak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh
pengurus dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara, mendidik dan membina serta
mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak
membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka kepada
kemewahan, sehingga akan mengabiskan umurnya untuk mencari hal tersebut bila
dewasa”.[1]
Banyak penulis dan peneliti membicarakan tentang
tujuan pendidikan individu muslim. Mereka berbicara panjang lebar dan terinci
dalam bidang ini, hal yang tentu saja bermanfaat. Apa yang mereka katakan dapat
kami ringkaskan sebagai berikut:
“Nyatalah bahwa pendidikan individu muslim dalam
Islam mempunyai satu tujuan yang jelas dan tertentu, yaitu: menyiapkan individu
untuk dapat beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dan tak perlu
dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah
pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim
dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.”[2]
Perhatian kepada anak dimulai dari masa sebelum
kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalehah. Rasulullah ﷺ
memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan
bersabda:
((فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ))
“Dapatkan wanita yang beragama, (jika
tidak) niscaya engkau merugi”.[3]
Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami
yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendanya mendahulukan
laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah ﷺ memberikan pengarahan kepada
para wali dengan bersabda:
((إِذَا
جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلَّا تَفْعَلُوْا
تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ))
“Bila datang kepadamu orang yang kamu
sukai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah. Jika tidak kamu lakukan, niscaya
terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar”. [4]
Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir,
mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ
dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada kita:
((وَلَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، قَالَ : بِسْمِ اللهِ، اللّٰهُمَّ
جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ
قُدِّرَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ))
“Jika seseorang di antara kamu hendak
menggauli isterinya, membaca: “Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami
dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”.
Maka andaikata ditaqdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan
yang dapat mencelakakannya”. [5]
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran
Islam. Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam
memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiaannya, seperti dikemukakan
tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi
janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak
berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Sabda
Rasulullah ﷺ
:
((إِنَّ اللهَ
وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ
وَالْمُرْضِعِ وَالْحُبْلَى))
“Sesungguhnya Allah membebaskan separuh
shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang
bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil”. [6]
Sang ibu hendaklah berdo’a untuk bayinya dan
memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi
kedua orangtua dan seluruh kaum muslimah. Karena termasuk do’a yang dikabulkan
adalah do’a orantua untuk anaknya.
[1] Muhammad Hamid Al Nashir – Khaulah Abdul
Qadir Darwisy, Tarbiyatul Athfal fi Rihabil Islam fil Bait war Raudhah,
hal. 41.
[2]
Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al
Mu’atstsirat as Salbiyah fi Tarbiyati at-Thiflil Muslim wa Thuruq ‘Ilajiha,
hal. 76.
[3]
Hadits riwayat Al Bukhari, Muslim
dan periwayat lainnya.
[4]
Hadits riwayat At Tirmidzi.
[5]
Hadits riwayat Al Bukhari, Muslim
dan penulis kitab Sunan, dari Ibnu Abbas.
[6]
Hadits riwayat Abu Dawud, At
Tirmidzi dan An Nasa’i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: “Isnad
hadits ini jayyid”.